Wongalus KWA
“SIAPA
YANG INGIN BERSAHABAT DENGAN ALLAH, MAKA SEHARUSNYA IA MEMULAI DENGAN
MENINGGALKAN SEGALA SYAHWAT DIRI. SANG HAMBA TIDAK AKAN SAMPAI KEPADA
ALLAH, JIKA MASIH ADA PADA DIRINYA SEGALA KESENANGAN DIRINYA. DAN TIDAK
JUGA SAMPAI, JIKA DALAM DIRINYA ADA SEGALA KEINGINAN.”
Syekh
Abul Hasan Asy-Syadzili lahir Ghumarah, Maroko, 1197 – wafat
Humaitsara, Mesir, 1258) adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang
merupakan salah satu tarekat terkemuka di dunia. Ia dipercayai oleh para
pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad, yang lahir
di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang termasuk
wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.
Namanya
lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili Al-HasaniSyekh Abul Hasan
Asy-Syadzili adalah pendiri tarekat Syadziliah. Nasab Abul Hasan
Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Nabi Muhammad SAW. Berikut ini
nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan, bin Abdullah Abdul Jabbar, bin
Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya’, bin
Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Muhammad, bin
Hasan bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW
Sebagian
besar sumber yang berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili sepakat bahwa
dia lahir di negeri Maghrib pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa
yang bernama Ghumarah dekat kota Sabtah (sekarang kota Ceuta, di Afrika
Utara). Dia tumbuh di desa ini. Dia menghapal Al Quran Al-Karim dan
mulai mempelajari ilmu syariat. Kemudian dia pergi ke kota Tunis ketika
masih sangat muda. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Syadzilah.
Oleh karena itu, dia dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun dia tidak
berasal dari sana, sebagaimana dikatakan oleh penulis al-Qamus. Ada
juga yang mengatakan bahwa dia dinisbatkan kepada desa tersebut karena
dia tekun beribadah di sana.
Asy-Syadzili
berkulit sawo matang, berbadan kurus, perawakannya tinggi, pipinya
tipis, jari-jari kedua tangannya panjang, dan lidahnya fasih serta
perkataannya baik. Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan
minum. Dia selalu mengenakan pakaian yang indah setiap kali memasuki
masjid. Dia tidak pernah terlihat memakai baju-baju bertambalan
sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi. bahkan selalu mengenakan
pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memelihara, dan menungganginya. Dia
selalu menasihatkan untuk bersikap moderat.
Sejak
kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai
orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur
katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna
pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan
luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut
ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan
pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah
bimbingan ayah-bunda beliau.
Beliau
tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang
kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara
Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul
‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang
yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.
Beliau
sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi
pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat,
Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang
mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk
menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu
telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus
diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan
akhlaq mulia.
Segera
setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau
segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang
ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan
segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada
saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau
mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata
Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut
menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya
dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung
pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said
sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari
Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an,
hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat.
Selain
itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga
berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke
Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun
menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai
dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an
dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau
kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera
menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari
seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan
ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang
kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa
restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau
demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Tempat
pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat
peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang
berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang
ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau
belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada
suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah
bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq
yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.
Sesampainya
di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya
ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap
ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka
semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali
Quthub di negeri itu.
Memang
sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani
Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh,
kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh
Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu
kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani
(470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya
(selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil
Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul
Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang
berkedudukan “Quthbul Ghouts”.
Akhirnya,
Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin
dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al
Wasithi, rodliyAllahu ‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki
pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah
Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau
sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya
untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke
hadirat Allah SWT.
Mendengar
penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian
mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke
sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu
sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini.
Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah
berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada
di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang
engkau cari di sana!”
Beberapa
saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi,
Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa
segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya
di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana
Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera
bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di
manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui
selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup
lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh
Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al
Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang
pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang
letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar
keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al
Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan
itu.
Setelah
melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya
ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu
menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut
terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk
naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di
bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air
itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan
penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang
yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin,
disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai
mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan
luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya
telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal.
Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk
naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri,
Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.
Namun,
entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak
sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat
sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang
sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari
sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat
kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan
sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan
berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan
salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta
merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa
barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut
terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau
disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada
baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Mendengar
itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai
Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya
Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun
amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia
dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini,
bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy
Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy
al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya.
“Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat
Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh
Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum
engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku
segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini.
Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan
pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah,
bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.
Selanjutnya,
Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup
lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan
dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan.
Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan
kepada beliau.
Pada
suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku,
hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan
diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci
dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada
syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan
dirimu.”
Berkata
asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu,
niscaya engkau akan mendapatkms Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi
segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari
segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah
sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”
Di
lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan,
“Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk
Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL
atas Allah.
Kemudian
disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah;
MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak
berarti; dan WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang
melalaikan”.
Asy
Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah
engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat
mendatangkan kcridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu
majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat
kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya.
Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah
keyakinanmu terhadap Allah”.
Asy
Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang
teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh
Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi
akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah
dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta
kekeramatan Syekh Abul Hasan.
Tetapi,
dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan
paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah
diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam
yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus
sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini
urut-urutannya adalah sebagai berikut :
Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :
1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari
12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.
Setelah
menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau
merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan
rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak
saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke
dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari
keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan
barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam
bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.
Thoriqot
ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di
negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh
penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah
orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot
ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di
mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot
ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar
beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan
pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang,
yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot
yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru
mursyidnya serta para pengamalnya.
Setelah
cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat
perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus
Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari
yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai
anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau
untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah
yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana.
Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan
menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”
“Setelah
itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia.
Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya
dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah
ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al
Quthubah dan menjadikan engkau seorang Quthub.”
Pada
waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh
agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan,
“Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun
kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah
terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan
mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka.
Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan
tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka
sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”
Lanjut
asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi
utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan
cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai
anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan
dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari
kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan
bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa
kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas
segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘
Selanjutnya,
setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang
dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu
sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia
pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi
kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Seusai
berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai
menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh
sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah
dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah
yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa
itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh
segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa
sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah
kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak
sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat
dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama
dinanti-nantikan.
Beliau
tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja.
Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak
berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin
bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang.
Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang
guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan
ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya,
Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit
yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan
diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah
al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang
memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di
bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan
disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk
menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan
wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh
Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara
menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan
istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Untuk
kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya
mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi,
sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah
mata air untuk memenuhi keperluan beliau.
Pernah,
pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga
mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang
dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang
setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu,
Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari
makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua
segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”.
Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua
turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.
Berkaitan
dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada
suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak
segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy
Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang
berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan
aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh
yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan
mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan
oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan
kebersamaan mereka dengan asy Syekh.
Sehubungan
dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau,
diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya,
pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb,
mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan
kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily,
tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang
(langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat
demi untukKu dan demi cinta kepada-Ku.”
Beliau
tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu
hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit
dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.
Diceritakan
oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai
Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh
manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah
diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul
dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku
akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau
dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku
kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku
pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan
Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan
ghaib.”‘
Setelah
selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus
Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya
guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya
sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Kalau
dirunut nasab maupun tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati
sebuah nama yang memungkinkan ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama
tersebut adalah nama yang dia peroleh dalam perjalanan ruhaniah.
Dalam
hal ini Abul Hasan sendiri bercerita : “Ketika saya duduk di hadapan
Syekh, di dalam ruang kecil, di sampingku ada anak kecil. Di dalam
hatiku terbersit ingin tanya kepada Syekh tentang nama Allah. Akan
tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya memegang kerah
bajuku, lalu berkata, “Wahai, Abu al–Hasan, kamu ingin bertanya kepada
Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama yang
kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu. Akhirnya
Syekh tersenyum dan berkata, “Dia telah menjawab pertanyaanmu”.
Selanjutnya
Syekh Abdussalam memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah
Afriqiyyah tepatnya di daerah bernama Syadzilah, karena Allah akan
menyebutnya dengan nama Syadzili –padahal pada waktu itu Abu al-Hasan
belum di kenal dengan nama tersebut-.
Sebelum
berangkat Abu al-Hasan meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia
berkata, “Ingatlah Allah, bersihkan lidah dan hatimu dari segala yang
mengotori nama Allah, jagalah anggota badanmu dari maksiat, kerjakanlah
amal wajib, maka kamu akan memperoleh derajat kewalian. Ingatlah akan
kewajibanmu terhadap Allah, maka kamu akan memperoleh derajat orang yang
wara’. Kemudian berdoalah kepada Allah dengan doa, “Allahumma arihnii
min dzikrihim wa minal ‘awaaridhi min qibalihim wanajjinii min syarrihim
wa aghninii bi khairika ‘an khairihim wa tawallanii bil khushuushiyyati
min bainihim innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir”.
Selanjutnya
sesuai petunjuk tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah
tersebut untuk mengetahui rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam
perjalanan ruhaniah kali ini dia banyak mendapat cobaan sebagaimana
cobaan yang telah dialami oleh para wali-wali pilihan. Akan tetapi
dengan cobaan tersebut justru semakin menambah tingkat keimanannya dan
hatinya semakin jernih.
Sesampainya
di Syadzilah, yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan dan
muridnya menuju gua yang berada di Gunung Za’faran untuk munajat dan
beribadah kepada Allah SWT. Selama beribadah di tempat tersebut salah
satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu al-Hasan banyak memiliki
keramat dan tingkat ibadahnya sudah mencapai tingkatan yang tinggi.
Pada
akhir munajat-nya ada bisikan suara , “Wahai Abu al-Hasan turunlah dan
bergaul-lah bersama orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil
manfaat darimu, kemudian beliau berkata: “Ya Allah, mengapa Engkau
perintahkan aku untuk bergaul bersama mereka, saya tidak mampu” kemudian
dijawab: “Sudahlah, turun Insya Allah kamu akan selamat dan kamu tidak
akan mendapat celaan dari mereka” kemudian beliau berkata lagi : “Kalau
aku bersama mereka, apakah aku nanti makan dari dirham mereka? Suara itu
kembali menjawab : “Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh
rizik dari usahamu juga dari rizki yang Aku berikan secara gaib.
Dalam
dialog ilahiyah ini, dia bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan
syadzili padahal dia bukan berasal dari syadzilah, kemudian Allah
menjawab: “Aku tidak menyebutmu dengan syadzili akan tetapi kamu adalah
syadzdzuli, artinya orang yang mengasingkan untuk ber-khidmat dan
mencintaiku”.
Dialog
ilahiyah yang sarat makna dan misi ini membuatnya semakin mantap
menapaki dunia tasawuf. Tugas selanjutnya adalah bergaul bersama
masyarakat, berbaur dengan kehidupan mereka, membimbing dan menyebarkan
ajaran-ajaran Islam dan ketenangan hidup. Dan Tunis adalah tempat yang
dituju wali agung ini.
Di
Tunis Abul Hasan tinggal di Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat
tersebut banyak para ulama dan para sufi. Di antara mereka adalah
karibnya yang bernama al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu al-Hasan
al-Shaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni.
Popularitas
Syekh Abu al-Hasan semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai
terdengar di telinga Qadhi al-Jama’ah Abu al-Qasim bin Barra’. Namun
aroma ini perlahan membuatnya sesak dan gerah. Rasa iri dan hasud muncul
di dalam hatinya. Dia berusaha memadamkan popularitas sufi agung ini.
Dia melaporkan kepada Sultan Abi Zakaria, dengan tuduhan bahwa dia
berasal dari golongan Fathimi.
Sultan
meresponnya dengan mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu
al-Hasan dan Qadhi Abul Qosim. Hadir di situ juga para pakar fiqh.
Pertemuan tersebut untuk menguji seberapa kemampuan Syekh Abu al-Hasan.
Banyak
pertanyaan yang dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul
Hasan di depan umum. Namun, sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi’i,
dalam ujian, orang akan terhina atau bertambah mulia. Dan nyatanya bukan
kehinaan yang menimpa wali besar. Kemuliaan, keharuman nama justru
semakin semerbak memenuhi berbagai lapisan masyarakat.
Qadhi
Abul Qosim menjadi tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena
jawaban-jawaban as-Syadzili yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan,
tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh Abu al-Hasan adalah termasuk pemuka
para wali. Rasa iri dan dengki si Qadhi terhadap Syekh Abu al-Hasan
semakin bertambah, kemudian dia berusaha membujuk Sultan dan berkata:
“Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis akan menurunkanmu dari
singgasana”.
Ada
pengakuan kebenaran dalam hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari
singgasana. Sultan demi mementingkan urusan pribadi, menyuruh para
ulama’ fikih untuk keluar dari balairung dan menahan Syekh Abu al-Hasan
untuk dipenjara dalam istana.
Kabar
penahanan Syekh Abul Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk
menjenguknya. Dengan penuh rasa prihatin si karib berkata, “Orang-orang
membicarakanmu bahwa kamu telah melakukan ini dan itu”. Sahabat tadi
menangis di depan Syekh Abu al-Hasan lalu dengan percaya diri dan
kemantapan yang tinggi, Syekh tersenyum manis dan berkata, “Demi Allah,
andaikata aku tidak menggunakan adab syara’ maka aku akan keluar dari
sini –seraya mengisyaratkan dengan jarinya-. Setiap jarinya
mengisyaratkan ke dinding maka dinding tersebut langsung terbelah,
kemudian Syekh berkata kepadaku: “Ambilkan aku satu teko air, sajadah
dan sampaikan salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa
hanya sehari saja kita tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti
kita akan bertemu lagi”.
Tunis,
kendatipun bisa dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan thariqah
Syadziliyah namun itu bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh
Abu al-Hasan menuju negara kawasan timur yaitu Iskandariah. Di sana dia
bertemu dengan Syekh Abi al-Abbas al-Mursi. Pertemuan dua Syekh tadi
memang benar-benar mencerminkan antara seorang mursyid dan murid.
Adapun
sebab mengapa Syekh pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, “Aku
bermimpi bertemu baginda Nabi, beliau bersabda padaku : “Hai Ali…
pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benar-benar takut
kepadaku”.
Di
Iskandariah beliau menikah lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki,
dan dua perempuan. Semasa di Mesir beliau sangat membawa banyak berkah.
Di sana banyak ulama yang mengambil ilmu dari Syekh agung ini. Di antara
mereka adalah hakim tenar Izzuddin bin Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid ,
Al-hafidz al-Mundziri, Ibnu al-Hajib, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur, dan yang
lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah yang terletak di jalan Al-muiz li
Dinillah.
Selama
berada di Tunisia, beliau bersahabat dan banyak berdiskusi dengan para
Ulama dan kaum Sufi besar disana. Di antara mereka terdapat :
• Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf As Syazili
• Abu Abdullah Al Shabuni
• Abu Muhammad Abdul Aziz Al-Paituni
• Abu Abdillah Al Binai Al Hayah
• Abu Abdillah Al-Jarihi
Sedangkan diantara murud-murid beliau di Tunisia, dimana sebagian mereka adalah para Ulama kenamaan’ yaitu :
• Izzudin bin Abdul Salam
• Taqiyudin bin Daqiqi’id
• Abul Adhim Al-Munziri
• Ibnu Shaleh
• Ibnu Hajib
• Jamaluddin Usfur
• Nabiuddin bin Auf
• Muhyiddin bin Suraqah
• Ibnu Yasin
Diantara
kemuliaan beliau, sebagaimana kesaksian sahabat seperjalanannya, bahwa
diutusnya Syekh Abul Hasan Ali As Syazili oleh gurunya agar berangkat
menuju Iskandaria, karena di kota itu telah menunggu 40 Waliyullah untuk
meneruskan pelajaran kepada beliau.
Dasar-dasar Pemikiran Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran Syari’ah.
• Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :
1. Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
2.
Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An
Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh sufi kepada Allah swt )
3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )
4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
5.
Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber
Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )
6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian )
Syekh
Abu al-Abbas al-Mursy, murid kesayangan dan penerus thariqah
Syadziliyah mengatakan bahwa gurunya setiap tahun menunaikan ibadah
haji, kemudian tinggal di kota suci mulai bulan Rajab sampai masa haji
habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi SAW di
Madinah. Pada musim haji yang terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari
haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa minyak wangi dan
perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya untuk apa
kesemuanya ini, beliau menjawab, “Di Jurang Humaistara (di propinsi Bahr
al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau
meninggal. Beliau wafat pada tahun 656 H / 1258 M di Homaithira, Mesir.
Hingga kini makamnya masih selalu diziarahi, baik oleh pengikut tarekat
Syaziliyah atau bukan; yang menganggapnya sebagai waliyullah.
Karya Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Majmu’atul Ahzab ( Kumpulan Hizib-wirid )
• Mafakhirul ‘Aliyah
• Al Amin
• As Sirrul Jalil fi Khawashi Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil
• Hizbus Syadzili ( partai terkenal di Afrika )
Karomah Sayyidi Syekh Imam Abul Hasan Ali Asy Syadzili
Sulthonul
Auliya’ Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra adalah seorang yang
dianugerahi karomah yang sangat banyak, tidak ada yang bisa menghitung
karomahnya kecuali Allah SWT. Dan sebagian dari karomah beliau antara
lain adalah :
Allah
SWt menganugerahkan kepada beliau kunci seluruh Asma-Asma, sehingga
seandainya seluruh manusia dan jin menjadi penulis beliau (untuk menulis
ilmu-ilmu beliau) mereka akan lelah dan letih, sedangkan ilmu beliau
belum habis.
Beliau
adalah sangat terpuji akhlaqnya, sifat mudah menolong dan
kedermawanannya dari sejak usia anak-anak sampai ketika umur enam tahun
telah mengenyangkan orang-orang yang kelaparan pada penduduk Negara
Tunisia dengan uang yang berasal dari alam ghoib (uang pemberian Allah
secara langsung kepada beliau.
Beliau
didatangi Nabiyulloh Khidir as untuk menetapkan “wilayatul adzimah”
kepada beliau (menjadi seorang wali yang mempunyai kedudukan tinggi)
ketika beliau baru berusia enam tahun.
Beliau bisa mengetahui batin isi hati manusia
Beliau pernah berbicara dengan malaikat dihadapan murid-muridnya
Beliau menjaga murid-muridnya meskipun di tempat yang jauh
Beliau mampu memperlihatkan/menampakkan ka’bah dari negara Mesir
Beliau
tidak pernah putus melihat/menjumpai Lailatul Qodar semenjak usia
baligh hingga wafatnya beliau. Sehingga beliau berkata : Apabila Awal
Puasa ramadhan jatuh pada hari Ahad maka Lailatul Qodarnya jatuh pada
malam 29, Awal Puasa pada hari Senin Lailatul Qodarnya malam 21, Awal
puasa pada hari Selasa Lailatul Qodarnya malam 27, Awal puasa pada hari
Rabu Lailatul Qodarnya malam 19, awal puasa pada hari Kamis Lailatul
Qodarnya malam 25, awal puasa pada hari jum’at maka Lailatul Qodarnya
pada malam 17, sedangkan bila awal puasa pada hari Sabtu maka Lailatul
Qodarnya jatuh pada malam 23.
Barang
siapa yang meninggal dan dikubur sama dengan hari meninggal dan
dikuburkannya beliau, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya
Doa Beliau Mustajabah (dikabulkan oleh Allah SWT)
Beliau
tidak pernah terhalang sekejap mata pandangannya dari Rasulullah saw
selama 40 tahun (artinya beliau selalu berjumpa dengan Rasulullah selama
40 tahun)
Beliau
dibukakan (oleh Allah) bisa melihat lembaran buku murid-murid yang
masuk kedalam thoriqohnya, padahal lebar bukunya tersebut berukuran
sejauh mata memandang. Hal ini berlaku bagi orang yang langsung baiat
kepada beliau dan juga bagi orang sesudah masa beliau sampai dengan
akhir zaman. Dan seluruh murid-muridnya (pengikut thoriqohnya) diberi
karunia bebas dari neraka. Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra sungguh
telah digembirakan diberi karunia, barang siapa yang melihat beliau
dengan rasa cinta dan rasa hormat tidak akan mendapatkan celaka.
Beliau menjadi sebab keselamatan murid-muridnya/pengikutnya (akan memberikan syafaat di akhirat)
Beliau
berdo’a kepada Allah SWT, agar menjadikan tiap-tiap wali Qutub sesudah
beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan thoriqohnya. Dan Allah
telah mengabulkan Do’a beliau tersebut. Maka dari itu wali Qutub sesudah
masa beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan pengikut beliau.
Syaikh
Abul Abbas Al Mursi ra berkata : “Apabila Allah SWT menurunkan
bala/bencana yang bersifat umum maka pengikut thoriqoh syadziliyah akan
selamat dari bencana tersebut sebab karomah syaikh Abul Hasan Asy
Syadzili ra”.
Syaikh
Syamsudin Al-Hanafi ra mengatakan bahwa pengikut thoriqoh syadziliyah
dikaruniai kemulyaan tiga macam yang tidak diberikan pada golongan
thoriqoh yang lainnya :
a. Pengikut thoriqoh Syadziliyah telah dipilih di lauhil mahfudz
b. Pengikut thgoriqoh syadziliyah apabila jadzab/majdub akan cepat kembali seperti sedia kala.
c.
Seluruh Wali Qutub yang diangkat sesudah masa syaikh Abul Hasan Asy
Syadzili ra akan diambil dari golongan ahli thoriqoh Sadziliyah.
Apabila beliau mengasuh/mengajar murid-muridnya sebentar saja, sudah akan terbuka hijab.
Pada
suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak
perempuan yang paling disenangi dan paling dibanggakan terserang
penyakit langsung meninggal. Ketika mereka sedang sibuk memandikan budak
itu untuk kemudian dishalati, mereka lupa bara api yang masih menyala
di dalam gedung. Tanpa ampun bara api tadi melalap pakaian, perhiasan,
harta kekayaan, karpet dan kekayaan lainnya yang tidak bisa terhitung
nilainya.
Sembari
merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan yang pernah
menahan Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa
kejadian-kejadian ini karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan
demi melepaskan ‘kutukan’ ini saudara Sultan yang termasuk pengikut
Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada Syekh, atas perlakuan Sultan
kepadanya. Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra. Ketika mati ia
juga banyak mengalami cobaan baik harta maupun agamanya.
Di
antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, “Ketika dalam suatu
perjalanan aku berkata, “Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba
yang banyak bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau mendengar suara ,
“Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh
Allah kecuali hanya dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku
bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu,
padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama’ dan
para penguasa.
Suara
itu berkata kepadaku, “Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak
akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama’, maka kamu tidak
akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa,
maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat
yang Aku berikan untukmu”.
Di
antara karomah sudi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh
menentang Hizib Bahr, Syekh Syadzili berkata, “Demi Allah, saya
mengambil hizib tersebut langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin
(setiap huruf)”.
Di
antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu
majlis beliau menerangkan bab zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian
yang bagus. Ketika itu ada seorang miskin ikut dalam majlis tersebut
dengan memakai pakaian yang jelek. Dalam hati si miskin berkata,
“Bagaimana seorang Syekh menerangkan bab zuhud sedangkan dia memakai
pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang yang zuhud di dunia”.
Tiba-tiba
Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, “Pakaian kamu ini adalah
pakaian untuk menarik simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang
akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan menaruh iba padamu.
Sebaliknya pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang
kaya dan terjaga dari meminta-minta”.
Sadar
akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh
Syadzili seraya berkata, “Demi Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam
hatiku saja dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh”. Rupanya
hati Syekh terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin
itu dan menunjukkannya ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan.
Kemudian syekh berkata, “Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya
kepadamu melalui hati orang-orang pilihan. Dan semoga hidupmu berkah dan
mendapatkan khusnul khatimah”.
Rasulullah
saw memberikan izin bagi orang yang berdo’a Kepada Allah SWT dengan
bertawasul kepada Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili.
Pendapat Ulama tentang Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
•
Al-Manawi berkata : ketika ditanya orang siapa Syekh nya; Syekh Abu
Hasan Ali menjawab : “Adapun pada masa lalu, Syekh Abdus Salam Masyisy,
sekarang aku minum dari sepuluh lautan, lima diantaranya di langit dan
lima di bumi.”
•
Al-Mursi berkata : “Allah swt pernah membukakan tabir pemandanganku,
maka Ku lihat Syekh Abu Madyan bergantung di tiang Arasy. Aku mengajukan
pertanyaan :
”Berapa banyak ilmu anda?”
Dia menjawab :”71”
Aku bertanya lagi : “Apa Jabatanmu?”
Dia menjawab :”Khalifah keempat dan pemimpin 7 wali Abdal
Kutanya lagi :”Bagaimana pendapatmu tentang Abu Hasan
Asy-Syazili?”
Dia menjawab :”Dia lebih dari padaku dengan 40 Ulama, dia
Adalah samudera tidak bertepi.”
•
Abu Abdullah As-Syatibi berkata : “ Aku setiap malam mengadakan
hubungan dengan Syekh Abu Hasan beberap kali. Aku mohon berbagai hajat
kepada Allah swt, dengan perantaraannya. Ternyata hajatku dikabulkan
Allah swt. Pada suatu malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku
bertanya kepada beliau :
”Wahai
Rasulullah saw, relakah rasul kepada Abu Hasan. Aku selalu bermohon
kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, ternyata doa’ ku makbul.
Bagaimana pendapat Rasulullah tentang dirinya?
Beliau bersabda :
“Abu
Hasan itu adalah putraku, secara rohaniah. Anak adalah bagian dari
Ayah. Siapa yang berpegang kepada sebagian, berarti sesungguhnya
berpegang pada semua. Apabila kamu meminta kepada Allah swt dengan
perantaraan Syekh Abu Hasan, maka sesungguhnya kamu telah memohon kepada
Allah swt dengan perantaraanku.”
Wasiat dan Nasihat Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
•
Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah
Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakana pada dirimu :
Sesungguhnya Allah swt menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan
sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun
Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah
terlebih dahulu.
•
Kembalilah dari menentang Allah swt, maka engkau menjadi Ahli Tauhid.
Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli
Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.
•
Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah
dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah swt dengan cara yang
benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.
•
Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah swt, sampaikan
lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al
Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan
cahaya kepada kalian.
•
Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada
Allah swt melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah
swt. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan
nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan
rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan
tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa
tergolong orang-orang saleh.
•
Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi
tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau
kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat,
memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah swt dan ikhlas
beragama
Dasar-dasar
ajaran Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili bahwa seseorang yang ingin
mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan
memahami ajaran Syari’ah. Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada
murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :
1. Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
2.
Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An
Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh sufi kepada Allah SWT )
3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )
4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
5.
Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber
Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )
6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian ).
Syekh
Abul Hasan Ali Asy Syadzili wafat pada tahun 656 H / 1258 M di
Homaithira, Mesir. Hingga kini makamnya masih selalu diziarahi, baik
oleh pengikut tarekat Syaziliyah atau bukan; yang menganggapnya sebagai
waliyullah. Karya Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili • Majmu’atul Ahzab (
Kumpulan Hizib-wirid ) • Mafakhirul ‘Aliyah • Al Amin • As Sirrul Jalil
fi Khawashi Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil • Hizbus Syadzili (partai
terkenal di Afrika)
Pendapat
Ulama tentang Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili • Al-Manawi berkata :
ketika ditanya orang siapa Syekh nya; Syekh Abu Hasan Ali menjawab:
“Adapun pada masa lalu, Syekh Abdus Salam Masyisy, sekarang aku minum
dari sepuluh lautan, lima diantaranya di langit dan lima di bumi.”
•Al-Mursi
berkata : “Allah SWT pernah membukakan tabir pemandanganku, maka Ku
lihat Syekh Abu Madyan bergantung di tiang Arasy. Aku mengajukan
pertanyaan : ”Berapa banyak ilmu anda?” Dia menjawab :”71” Aku bertanya
lagi : “Apa Jabatanmu?” Dia menjawab :”Khalifah keempat dan pemimpin 7
wali Abdal Kutanya lagi :”Bagaimana pendapatmu tentang Abu Hasan
Asy-Syazili?” Dia menjawab :”Dia lebih dari padaku dengan 40 Ulama, dia
adalah samudera tidak bertepi.”
•
Abu Abdullah As-Syatibi berkata: “ Aku setiap malam mengadakan hubungan
dengan Syekh Abu Hasan beberap kali. Aku mohon berbagai hajat kepada
Allah SWT, dengan perantaraannya. Ternyata hajatku dikabulkan Allah SWT.
Pada suatu malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku bertanya
kepada beliau : ”Wahai Rasulullah saw, relakah rasul kepada Abu Hasan.
Aku selalu bermohon kepada Allah SWT dengan perantaraan beliau, ternyata
doa’ ku makbul. Bagaimana pendapat Rasulullah tentang dirinya?
Beliau
bersabda : “Abu Hasan itu adalah putraku, secara rohaniah. Anak adalah
bagian dari Ayah. Siapa yang berpegang kepada sebagian, berarti
sesungguhnya berpegang pada semua. Apabila kamu meminta kepada Allah SWT
dengan perantaraan Syekh Abu Hasan, maka sesungguhnya kamu telah
memohon kepada Allah SWT dengan perantaraanku.” Wasiat dan Nasihat Syekh
Abul Hasan Ali Asy Syadzili
•
Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah
Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakan pada dirimu :
Sesungguhnya Allah SWT menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan
sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun
Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah
terlebih dahulu.
•
Kembalilah dari menentang Allah SWT, maka engkau menjadi Ahli Tauhid.
Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli
Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.
•
Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah
dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah SWT dengan cara yang
benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.
•
Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah SWT, sampaikan
lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al
Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan
cahaya kepada kalian.
•
Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada
Allah SWT melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah
SWT. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan
nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan
rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan
tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa
tergolong orang-orang saleh.
•
Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi
tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau
kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat,
memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT dan ikhlas
beragama.
Sulthonul
Auliya’ Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra adalah seorang yang
dianugerahi karomah yang sangat banyak, tidak ada yang bisa menghitung
karomahnya kecuali Allah SWT. Dan sebagian dari karomah beliau antara
lain Allah SWT menganugerahkan kepada beliau kunci seluruh Asma-Asma,
sehingga seandainya seluruh manusia dan jin menjadi penulis beliau
(untuk menulis ilmu-ilmu beliau) mereka akan lelah dan letih, sedangkan
ilmu beliau belum habis.
Beliau
adalah sangat terpuji akhlaqnya, sifat mudah menolong dan
kedermawanannya dari sejak usia anak-anak sampai ketika umur enam tahun
telah mengenyangkan orang-orang yang kelaparan pada penduduk Negara
Tunisia dengan uang yang berasal dari alam ghoib (uang pemberian Allah
secara langsung kepada beliau.
Beliau didatangi Nabiyulloh Khidir as untuk menetapkan “wilayatul adzimah” kepada beliau (menjadi seorang wali yang mempunyai kedudukan tinggi) ketika beliau baru berusia enam tahun.
Beliau
bisa mengetahui batin isi hati manusia, Beliau pernah berbicara dengan
malaikat dihadapan murid-muridnya, Beliau menjaga murid-muridnya
meskipun di tempat yang jauh, Beliau mampu memperlihatkan/menampakkan
ka’bah dari negara Mesir, Beliau tidak pernah putus melihat/menjumpai
Lailatul Qodar semenjak usia baligh hingga wafatnya beliau. Sehingga
beliau berkata : Apabila Awal Puasa ramadhan jatuh pada hari Ahad maka
Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 29, Awal Puasa pada hari Senin
Lailatul Qodarnya malam 21, Awal puasa pada hari Selasa Lailatul
Qodarnya malam 27, Awal puasa pada hari Rabu Lailatul Qodarnya malam 19,
awal puasa pada hari Kamis Lailatul Qodarnya malam 25, awal puasa pada
hari jum’at maka Lailatul Qodarnya pada malam 17, sedangkan bila awal
puasa pada hari Sabtu maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 23.
Barang
siapa yang meninggal dan dikubur sama dengan hari meninggal dan
dikuburkannya beliau, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya, Doa
Beliau Mustajabah (dikabulkan oleh Allah SWT),
Beliau
tidak pernah terhalang sekejap mata pandangannya dari Rasulullah saw
selama 40 tahun (artinya beliau selalu berjumpa dengan Rasulullah selama
40 tahun), Beliau dibukakan (oleh Allah) bisa melihat lembaran buku
murid-murid yang masuk kedalam thoriqohnya, padahal lebar bukunya
tersebut berukuran sejauh mata memandang. Hal ini berlaku bagi orang
yang langsung baiat kepada beliau dan juga bagi orang sesudah masa
beliau sampai dengan akhir zaman. Dan seluruh murid-muridnya (pengikut
thoriqohnya) diberi karunia bebas dari neraka. Syaikh Abul Hasan Asy
Syadzili ra sungguh telah digembirakan diberi karunia, barang siapa yang
melihat beliau dengan rasa cinta dan rasa hormat tidak akan mendapatkan
celaka.
Beliau
menjadi sebab keselamatan murid-muridnya/pengikutnya (akan memberikan
syafaat di akhirat). Beliau berdo’a kepada Allah SWT, agar menjadikan
tiap-tiap wali Qutub sesudah beliau sampai akhir zaman diambil dari
golongan thoriqohnya. Dan Allah telah mengabulkan Do’a beliau tersebut.
Maka dari itu wali Qutub sesudah masa beliau sampai akhir zaman diambil
dari golongan pengikut beliau.
Syaikh
Abul Abbas Al Mursi ra berkata : “Apabila Allah SWT menurunkan
bala/bencana yang bersifat umum maka pengikut thoriqoh syadziliyah akan
selamat dari bencana tersebut sebab karomah syaikh Abul Hasan Asy
Syadzili ra”. Apabila beliau mengasuh/mengajar murid-muridnya sebentar
saja, sudah akan terbuka hijab. Rasulullah saw memberikan izin bagi
orang yang berdo’a Kepada Allah SWT dengan bertawasul kepada Syaikh Abul
Hasan Asy Syadzili.
Nah
demikian sekilas gambaran sosok sang syaikh. Semoga kita bisa mengambil
hikmah dan pembelajaran bagi kehidupan kita sekarang. Terakhir mari
kita berefleksi: “Jika engkau telah berusia empat puluh tahun, maka
segeralah untuk memperbanyak amal shaleh siang maupun malam. Sebab,
waktu pertemuanmu dengan Allah ‘Azza wa Jalla semakin dekat. Ibadah yang
kau kerjakan saat ini tidak mampu menyamai ibadah seorang pemuda yang
tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Bukankah selama ini kau sia-siakan
masa muda dan kekuatanmu. Andaikata saat ini kau ingin beramal
sekuat-kuatnya, tenagamu sudah tidak mendukung lagi.
Oleh
karena itu beramallah sesuai kekuatanmu. Perbaikilah masa lalumu dengan
banyak berdzikir, sebab tidak ada amal yang lebih mudah dari dzikir.
Dzikir dapat kamu lakukan ketika berdiri, duduk, berbaring maupun sakit.
Dzikir adalah ibadah yang paling mudah. Rasulullah saw bersabda : Dan
hendaklah lisanmu basah dengan berdzikir kepada Allah SWT. Bacalah
secara berkesinambungan doa’ dan dzikir apapun yang mudah bagimu. Pada
hakikatnya engkau dapat berdzikir kepada Allah SWT adalah karena
kebaikannya. Ia akan mengaruniamu. (Ibnu ‘Atha illah Askandari)
”Ketahuilah,
sebuah umur yang awalnya disia-siakan, seyogyanya sisanya dimanfaatkan.
Jika seorang ibu memiliki sepuluh anak dan sembilan diantaranya
meninggal dunia. Tentu ia akan lebih mencintai satu-satunya anak yang
masih hidup itu. Kamu telah menyia-nyiakan sebagian besar umurmu, oleh
karena itu jagalah sisa umurmu yang sangat sedikit itu.
Demi
Allah, sesungguhnya umurmu bukanlah umur yang dihitung sejak engkau
lahir, tetapi umurmu adalah umur yang dihitung sejak hari pertama engkau
mengenal Allah SWT. (Ibnu ‘Atha illah Askandari)
”Seseorang
yang telah mendekati ajalnya (berusia lanjut) dan ingin memperbaiki
segala kekurangannya di masa lalu, hendaknya dia banyak membaca dzikir
yang ringkas tetapi berpahala besar. Dzikir semacam itu akan membuat
sisa umur yang pendek menjadi panjang, seperti dzikir yang berbunyi:
Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya, (kalimat ini
kuucapkan) sebanyak jumlah ciptaan-Nya, sesuai dengan yang ia sukai,
seberat timbangan Arsy-Nya dan setara dengan jumlah kata-kata-Nya.
Jika
sebelumnya kau sedikit melakukan shalat dan puasa sunah, maka
perbaikilah kekuranganmu dengan banyak bershalawat kepada Rasulullah
saw.
Andaikata
sepanjang hidupmu engkau melakukan segala jenis ketaatan dan kemudian
Allah SWT bershalawat kepadamu sekali saja, maka satu shalawat Allah ini
akan mengalahkan semua amalmu itu. Sebab, engkau bershalawat kepada
Rasulullah sesuai dengan kekuatanmu, sedangkan Allah SWT bershalawat
kepadamu sesuai dengan kebesaran-Nya. Ini jika Allah SWT bershalawat
kepadamu sekali, lalu bagaimana jika Allah SWT membalas setiap
shalawatmu dengan sepuluh shalawat sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah Hadits Shahih?
Betapa
indah hidup ini jika kau isi dengan ketaatan kepada Allah SWT, dengan
berdzikir kepada-Nya dan bershalawat kepada Rasulullah SAW.”
( Ibnu ‘Atha illah Askandari ) @@@.